Dalam kehidupan sehari-hari,
sering kita dengar orang berbicara dengan nada pesimis (sinis, negatif,
ragu-ragu, minder dll) dan sok tahu. Sikap ini didasari ketidakmauan untuk
mencari kejelasan terhadap suatu perkara. Hal ini bahkan terjadi pada diri kita
sendiri. Atau ada di antara kita yang suka menghukumi dan menghakimi suatu
perkara dengan hanya berdasar pada bukti dan data yang sangat sedikit (minim).
Baru mendengar kabar dari seseorang, langsung dipercaya, dan sudah berani
berkomentar macam-macam.
Sikap-sikap seperti ini
biasanya muncul karena kita sering terburu-buru berprasangka terhadap suatu
perkara yang belum jelas. Atau kalaupun sudah jelas perkara tersebut, kita
kurang bijaksana dalam menyikapinya (QS. Yunus 36) yang artinya: “ Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690].
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Maka yang muncul kemudian
emosi, marah, mau menang sendiri, dan tidak mau mendengarkan pendapat orang
lain. Dengan kata lain, menjadi sok benar sendiri. Sikap menganggap dirinya
yang paling benar inilah yang sering jadi penyakit di tengah masyarakat. Sikap
menganggap hanya dirinyalah yang paling berpengalaman, paling bisa, paling pintar,
paling tinggi derajadnya dan lain sebaginya.
Sikap ini mengingkari
kenyataan (menegasikan) bahwa banyak orang di sekitar kita yang mungkin lebih pintar,
lebih berpengalaman, lebih berhak bicara, atau dalam bahasa lain tidak bisa nguwongke (memanusiakan) orang lain.
Sikap nguwongke menjadi barang langka
di tengah-tengah kita. Kita lebih enjoy kalau di subyo-subyo (dipuji-puji), mriyayi
dan enggan berkomunikasi secara terbuka. Masih banyak yang lebih suka mencacat,
mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak mau instropeksi diri (muhasabah).
Begitu luas akibat (implikasi)
buruk yang ditimbulkan oleh sikap suudzon atau buruk sangka ini. Orang yang
suka suudzon cenderung suka menilai orang lain dengan memperbesar
kekurangannya. Maka dicari-carilah kekurangannya. Kelebihan yang tampak pada
orang lain selalu ditutup-tutupi, atau kalaupun disebut maka hanya sedikit
dengan maksud untuk menjatuhkan. Tak heran jika sikap suudzon ini bisa
menjauhkan orang dari sahabat-sahabatnya atau teman-temannya. Orang lain jadi
tidak mau mendekat karena takut dinilai kesehariannya atau sifatnya. Kalau
sudah tidak ada yang mendekat maka akses apapun akan sulit didapat termasuk
akses usaha dan bisnis. Inilah mengapa, suudzon bisa menutup jalan rejeki.
Apalagi kalau sampai suudzon
kepada Allah SWT. Artinya selalu berprasangka yang tidak baik kepada Allah SWT.
Ini ditunjukkan dengan sikap pesimisme, menyerah pada nasib, suka mengeluh dan
lain-lain. Hampir tidak ada celah positif dalam hidupnya. Ini menimbulkan
persepsi diri yang selalu negatif; pesimis, suka mengeluh, suka nyacat, menilai
jelek orang lain, suka mencari-cari kesalahan, gengsi dll.
Mengatasi hal ini tak lain dan
tak bukan hanyalah dengan mengubah pola pikir kita dalam menghadapi sesuatu.
Kita menyangka baik terhadap orang lain, kalau sangkaan itu salah maka kita
tetap dapat pahala kebaikan, tetapi sebaliknya kalau kita suudzon terhadap
orang lain, kalau sangkaan buruk itu benar kita tetap berdosa, apalagi kalau
sampai sangkaan itu salah. berangkat dari suudzon ini pula kita sering terjatuh
ke dalam kubangan Lumpur, menggunjing atau ngrasani
jeleknya orang lain. Na’udzubillahi min dzaalik.
TIPS menghindari suudzon (buruk sangka):
1. Perbesar penghargaan pada
orang lain; Suka Nguwongke orang
lain
2. Mau belajar dari orang
lain
3. Perbanyak ilmu; Ilmu
agama, sosial, dsb.
4. Banyak bergaul dengan
orang lain
5. Terbuka, tidak suka menyembunyikan
sesuatu/ masalah
6. Apa adanya
7. Perbanyak pengalaman
8. Perbanyak kegiatan,
jangan suka menganggur. Menganggur adalah sumber masalah.
9. Khusnudzon; baik sangka
pada orang lain dan kepada Allah SWT. ( pandai bersyukur).
|
Seberapa kualitas diri kita
Allah SWT. menyebut kualitas
dengan bahasa-bahasa yang sangat indah dalam AL Qur’an; Muttaqiin (orang-orang
yang bertaqwa), Muhsiniin (orang-orang yang suka membalas dengan lebih baik),
Ahsan ( lebih baik), Shoobiriin (orang-orang yang sabar), Syaakiriin (orang
yang banyak bersyukur), dll.
Kualitas seseorang bisa diukur dari bicaranya.
Orang berkualitas baik/ tinggi
adalah otrang yang bicara pada waktu dan tempat yang tepat, dan sarat dengan
hikmah, yaitu mengandung ide, gagasan, ilmu, dzikir, dan solusi yang bermanfaat
bagi semua orang. Tentunya tanpa bersikap menggurui orang lain, karena kalau
sudah suka menggurui orang lain maka yang muncul adalah sikap keminter (sok pintar). Jadi dalam
berbicara harus proporsional (lihat-lihat).
Orang berkualitas diri
biasa-biasa saja mempunyai ciri dari ucapan yang sibuk menceritakan
peristiwa-peristiwa yang dia alami atau ketahui. Suka ngerumpi mungkin lebih
pasnya. Kalau ngobrol tidak mau berhenti ngomongnya. Ngalor-ngidul selalu ada
yang dibicarakan meskipun kurang bermanfaat.
Sedangkan orang berkualitas rendahan dalam berkata-kata yaitu suka membawa permasalahan ke manapun dia berada, yaitu suka mengeluh, mencela atau menghina. Termasuk di dalamnya suka mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain. Suka mengeluh adalah ciri orang yang kurang bisa bersyukur atas nikmat Allah SWT. (dikutip dari Taushiyah Aa’ Gym)
Ada makalah ‘ulama yang
mengatakan bahwa sebagian besar orang terjerumus ke dalam dosa disebabkan
karena lisannya. Di sekitar kita dan bahkan diri kita sendiri masih sulit
mengendalikannya. Kita lebih suka nyacat
daripada memberi penghargaan. Masih suka mencari-cari negatifnya daripada
mencari sisi positifnya.
Sumber : http://titah-motivasihatinurani.blogspot.com/2011/05/suudzon.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar